Sabtu, 01 November 2014

Emile Durkheim

12.09

EMILE DURKHEIM (1858-1917)




Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Ia menolak karir tradisional dalam filsafat dan berupaya mendapatkan pendidikan ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman moral masyarakat. Meski kita tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di Paris.
Hasratnya terhadap ilmu makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993). Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan buku itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. DI sinilah Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Perancis. Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan meledak di Universitas Perancis karena nama Auguste Comte muncul dalam disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab utama Durkheim adalah mengajarkan pedagogik di sekolah pengajar dan kuliahnya yang terpenting adalah di bidang pendidikan moral. Tujuan instruksional umum mata kuliahnya adalah akan diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu menanggulangi kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat Perancis.

Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Society dalam bahasa Perancis dan tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller, 1993). Buku metodologi utamanya, The Rules of Sociological Method, terbit tahun 1895 diikuti (tahun 1897) oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam studi tentang bunuh diri. Sekitar tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas di Perancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu sangat terkenal lainnya, The Elementary Forins of Religious Life, diterbitkan pada tahun 1912.
Kini Durkheim sering dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam kajian sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi dimasa hidupnya ia dianggap berpikiran liberal dan ini ditunjukkan oleh peran publik aktif yang dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang kapten tentara Yahudi yang dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh banyak orang dirasakan bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997).
Durkheim merasa sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang melatarbelakangi pengadilannya. Namun Durkheim tidak mengaitkan pandangan anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis sebagai keseluruhan (Bimbaum dan Todd, 1995). Ia berkata :
Bila masyarakat mengalami penderitaan maka perlu menemukan seorang yang dapat dianggap bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang yang dapat dijadikan sebagai sasaran pembalasan dendam atas kemalangannya itu, dan orang yang menentang pendapat umum yang diskriminatif, biasanya ditunjuk sebagai kambing hitam yang akan dijadikan korban. Yang meyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan Dreyfus 1894. keriangan meluap di jalan raya.  Rakyat merayakan kemenangan atas apa yang telah dianggap sebagai penyebab penderitaan umum. Sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang harus disalahkan atas kesulitan ekonomi dan kebejatan moral yang terjadi dalam masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi. Melalui fakta ini juga segala sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa terhibur (Lukes, 1972:345).
Perhatian Durkheim terhadap perkara Dreyfus berasal dari perhatiannya yang mendalam seumur hidupnya terhadap moralitas modern. Menurut Durkheim, jawaban atas perkara Dreyfus dan krisis moral seperti itu terletak di akhir kekacauan moral dalam masyarakat. Karena perbaikan moral itu tak dapat dilakukan secara cepat dan mudah, Durkheim menyarankan tindakan yang lebih khusus, seperti menindak tegas orang yang mengorbankan rasa benci terhadap orang lain dan pemerintah harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa menyebarkan rasa kebendaan itu adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia mendesak rakyat agar “mempunyai keberanian untuk secara lantang menyatakan apa yang mereka pikirkan dan bersatu untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan menentang kegilaan publik (Lukas, 1972:347).
Tetapi minat Durkheim terhadap sosialisme juga dijadikan bukti bahwa ia menentang pemikiran yang menganggapnya seorang konservatif, meski jenis pemikiran sosialismenya sangat berbeda dengan pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkheim sebenarnya menamakan Marxisme sebagai “seperangkat hipotesis yang dapat dibantah dan ketinggalan zaman” (Lukes, 1972:323). Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan pada pembaharuan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tak tertarik pada metode politik jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari sosialisme. Ia tak melihat proletariat sebagai penyelamat masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan. Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan sebuah sistem dimana didalamnya prinsip moral ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah di tempat prinsip moral itu diterapkan.
Durkheim berpengaruh besar dalam pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tak hanya terbatas di bidang sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang lain tersalur melalui jurnal L’annee Sociologique yang didirikannya tahun 1898. Sebuah lingkaran intelektual muncul sekeliling jurnal itu dan Durkheim berada dipusatnya. Melalui jurnal itu, Durkheim dan gagasannya mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi yang agak ironis, mengingat serangannya terhadap bidang psikologi.
Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor. Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Social Action (1973) karya Talcott Parsons.

Pemikiran Emile Durkheim:

Fakta Sosial 
Fakta sosial didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam arti lain, yang dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Pengertian fakta sosial meliputi suatu spectrum gejala-gejala sosial. Yang terdapat bukan saja cara-cara bertindak dan berfikir melainkan juga cara-cara berada, yaitu fakta-fakta sosial morfologis, seperti bentuk permukiman, pola jalan-jalan, pembagian tanah, dan sebagainya.
Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
  1. Dalam bentuk material. Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata. Contohnya arsitektur dan norma hukum.
  2. Dalam bentuk non material. Yaitu sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Contohnya adalah egoisme, altruisme, dan opini.
Karakteristik Fakta Sosial
Bagaimana gejala sosial itu benar-benar dapat dibedakan dari gejala yang benar-benar individual (psikologis) Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik fakta sosial, yaitu :
  1. Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Individu sejak awalnya mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai suatu kenyataan eksternal. Hampir setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru, mungkin sebagai anggota baru dari suatu organisasi, dan pernah merasakan adanya norma serta kebiasaan yang sedang diamati yang tidak ditangkap/ dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
  2. Fakta itu memaksa individu. Individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti Durkheim katakan : Tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi atau memaksa seseorang untuk berprilaku yang bertentangan dengan kemauannya kalau sosialisasi itu berhasil, sehingga perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.
  3. Fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
Metodolgi Fakta Sosial

Durkheim dalam bukunya yang berjudul “The Rules Of Sosiological Method” memberikan dasar-dasar metodologi dalam sosiologi. Salah satu prinsip dasar yang ditekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya. Ini adalah asas pokok yang mutlak. Kemungkinan lain yang besar untuk menjelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu (seperti kemauan, kesadaran, kepentingan pribadi individu, dan seterusnya) seperti yang dikemukakan oleh ahli ekonomi klasik dan oleh Spencer.

Prinsip dasar yang kedua (dan salah satu yang fundamental dalam fungsionalisme modern) adalah bahwa asal-usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang terpisah. Seperti ditulis Durkheim “Lalu apabila penjelasan mengenai suatu gejala sosial diberikan kita harus memisahkan sebab yang mengakibatkannya (efficient cause) yang menghasilkan gejala itu, dan fungsi yang dijalankannya. Sesudah menentukan bahwa penjelasan tentang fakta sosial harus dicari di dalam fakta sosial lainnya, Durkheim memberikan strategi tentang perbandingan terkendali sebagai metoda yang paling cocok untuk mengembangkan penjelasan kausal dalam sosiologi.

Metoda perbandingan Durkheim lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metoda perbandingan terkendali itu meliputi klasifikasi silang dari fakta sosial tertentu untuk menentukan sejauh mana mereka berhubungan. Kalau korelasi antara dua himpunan fakta sosial dapat ditunjukkan sebagai valid dalam pelbagai macam keadaan, hal ini memberi satu petunjuk penting bahwa tipe fakta itu mungkin berhubungan secara kausal. Artinya, variasi dalam nilai dari satu tipe variable mungkin merupakan sebab dari variasi dalam nilai variable yang kedua.

Solidaritas Sosial Emile Durkheim

Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral  dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.

Sumber utama bagi analisa Durkheim mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumber struktur sosialnya diperoleh dari bukunya “The Devision Of Labour In Society”. Tipe/jenis solidaritas yang dijelaskan Durkheim tersebut yaitu:

a.     Solidaritas mekanik.
        Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama, yang  
        menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada
        pada  warga masyarakat yang sama itu. Indikator yang paling jelas untuk
        solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang
        bersifat menekan itu  (repressive). Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik
        adalah bahwa silidaritas   itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang
        tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu
        hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim.

b.    Solidaritas organik.
       Solidaritas organik didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi.
       Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi
       dalam  pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan
       bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa
       kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat
       memulihkan dari pada yang bersifat represif. Dalam sistem organik, kemarahan
       kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya,
       karena kesadaran koleftif itu tidak begitu kuat.

Selain itu, Durkheim juga membandingkan sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik dengan sifat masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik.

Perbandingan tersebut yaitu :

Solidaritas Mekanik
Solidaritas Organik
-          Pembagian kerja rendah
-          Kesadaran kolektif rendah
-          Hukum represif dominan
-          Individualitas rendah
-          Konsensus terhadap pola-pola
           normatif itu penting
-          Peranan komunitas dalam
           menghukum orang yang
           menyimpang
-          Saling ketergantungan itu 
            rendah
-          Bersifat primitif atau pedesaan
-          Pembagian kerja tinggi
-          Kesadaran kolektif lemah
-          Hukum restitutif dominan
-          Individualitas tinggi
-          Konsensus terhadap nilai 
           abstrak
           dan umum itu penting
-          Badan kontrol sosial yang
           menghukum orang yang
           menyimpang
-          Saling ketergantungan yang 
            tinggi
-          Bersifat industrial-perkotaan

Kesadaran Kolektif

Kesadaran kolektif dapat memberikan dasar moral yang tidak bersifat kontraktual yang mendasari hubungan kontraktual. Dalam benak Durkheim, kesadaran kolektif yang mendasar ini diabaikan oleh ahli teori seperti Spencer, yang melihat dasar fundamental dari keteraturan sosial ini dalam hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual. Kesadaran kolektif juga ada dalam bentuk yang lebih terbatas dalam pelbagai kelompok khusus dalam masyarakat.

Durkheim juga menekankan pentingnya kesadaran kolektif bersama yang mungkin ada dalam pelbagai kelompok pekerjaan dan profesi. Keserupaan dalam kegiatan dan kepentingan pekerjaan memperlihatkan suatu homogenitas internal yang memungkinkan berkembangnya kebiasaan, kepercayaan, perasaan, dan prinsip moral dan kode etik bersama. Akibatnya, anggota kelompok ini dibimbing dan dipaksa untuk berprilaku sama seperti anggota satu suku bangsa primitif dengan pembagian kerja yang rendah yang dibimbing dan dipaksa oleh kesadaran kolektif yang kuat. Durkheim merasa bahwa solidaritas mekanik dalam pelbagai kelompok pekerjaan dan profesi harus menjadi semakin penting begitu pembagian pekerjaan meluas, sebagi satu alat perantara yang penting antara individu dan masyarakat secara keseluruhannya.

Teori Bunuh Diri (Suicide)

Selain konsepsinya tentang solidaritas mekanis organis, Durkheim sangat terkenal dengan studinya tentang kecenderungan orang untuk melakukan bunuh diri. Dalam bukunya yang kedua, Suicide dikemukakan dengan jelas hubungan antara pengaruh integrasi social terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Durkheim dengan tegas menolak anggapan lama bahwa penyebab bunuh diri yang disebabkan oleh penyakit kejiwaan sebagaimana teori-teori psikologi mengatakannya. Dia juga menolak anggapan Gabriel Tarde bahwa bunuh diri akibat imitasi. Durkheim juga menolak teori yang menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme. Durkheim menolak  teori bunuh diri karena kemiskinan, kenyataan orang-orang lapisan atas tingkat bunuh dirinya lebih tinggi dibandingkan orang-orang dari lapisan atas. Dari hasil penelitiannya Negara-negara miskin seperti Italia dan Spanyol justru memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan dengan Negara-negara Eropa yang lebih makmur seperti Perancis dan Jerman.

Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sara penelitian dengan menghubungkannya dengan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Untuk membuktikan teorinya, Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu kesatuan agama, keluarga dan kesatuan politik.

Dalam kesatuan agama, Durkheim membuat kesimpulan bahwa penganut-penganut agama Protestan mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan penganut agama Katholik.Hal ini dikarenakan perbedaan derajat integrasi sosial di antara penganut agama Katolik dengan Protestan. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab suci.  Pada agama Katolik tafsir agama lebih ditentukan oleh para pater. Oleh karena itu kepercayaan bersama dari penganut Protestan menjadi berkurang,  hingga sekarang ini terdapat banyak gereja (sekte-sekte). Integrasi yang rendah dari penganut agama protestan itulah yang menyebabkan angka laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar dibandingkan dengan penganut ajaran Katolik.

Dalam kesatuan keluarga, Durkheim menunjukkan bahwa angka laju bunuh diri lebih banyak terdapat pada orang-orang yang tidak kawin daripada mereka yang sudah kawin. Kesatuan keluarga yang lebih besar umumnya terintegrasi mengikat anggota-anggotanya untuk saling membantu.

Dalam kesatuan politik, Durkeim menyebutkan bahwa dalam keadaan damai, golongan militer ummunya lebih besar kecenderungan bunuh dirinya dibandingkan golongan masyarakat sipil. Sedangkan dalam suasana perang, golongan militer justru lebih sedikit melakukan bunuh diri bila dibandingkan golongan sipil karena mereka lebih terintegrasi dengan baik (disiplin keras). Dalam situasi perang justru kecenderungan bunuh diri lebih rendah dibandingkan situasi damai. Dalam masa revolusi/pergolakan politik, anggota-anggota masyarakat justru lebih terintgrasi dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Durkheim mendefinisikan bunuh diri sebagai setiap kematian yang merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari suatu perbuatan positif atau negatif oleh korban itu sendiri, yang mengetahui bahwa perbuatan itu akan berakibat seperti itu. Definisi itu terlampau luas, sebab didalamnya juga termasuk kematian para prajurit yang mengajukan dirinya untuk melaksanakan tugas yang sukar, ataupun kematian seorang ayah yang ingin menyelamatkan anaknya dari arus kencang yang bergolak. Hal ini akan berakibat negatif dalam penalaran seperti yang akan ternyata kemudian.

Durkheim membagi bunuh diri dalam beberapa jenis yaitu :

  • Bunuh diri egoistis (egoistic suicide) Yaitu yang merupakan akibat dari kurangnya integrasi dalam kelompok. Misalnya, lebih banyak orang Protestan yang bunuh diri dari pada orang Katolik. Sebab orang Katolik lebih terikat pada komunitas keagamaan sedangkan dalam Protestan terdapat anjuran yang kuat untuk bertanggung jawab secara individual. Kenyataan ini dinyatakan secara tepat sekali di dalam rumusan bahwa seorang Protestan dipaksa untuk bebas.
  • Bunuh diri anomi (anomie suicide). Anomi adalah suatu situasi dimana terjadi suatu keadaan tanpa aturan, dimana kesadaran kolektif tidak berfungsi. Jenis bunuh diri ini terjadi dalam waktu krisis dan bukannya krisis ekonomi saja. Bunuh diri ini juga terjadi bilamana sekonyong-konyong terjadi kemajuan yang tidak terduga.
  • Altruistic Suicide, adalah bunuh diri karena merasa dirinya menjadi beban masyarakat. Bunuh diri ini sifatnya tidak menuntut hak, sebaliknya memandang bunuh diri itu sebagai suatu kewajiban yang dibebankan oleh masyarakat. Contoh : Harakiri orang jepang.
  • -Bunuh diri Fatalistik. Merupakan lawan dari bunuh diri anomi, dan yang timbul dari pengaturan kelakuan secara berlebih-lebihan, misalnya dalam rezim yang sangat keras dan otoriter.
Anomi Durkheim

Anomi adalah suatu situasi di mana terjadi suatu keadaan tanpa aturan, di mana ‘colective conciousness (kesadaran kelompok)’ tidak berfungsi. Suatu situasi di mana aturan-aturan dalam masyarakat tidak berlaku/berfungsi lagi sehingga orang merasa kehilangan arah dalam kehidupan sosialnya. Contohnya krisis yang sering terjadi di dalam perdagangan dan industri, terhadap spesialisasi yang jauh di dalam ilmu pengetahuan yang merugikan kesatuan dalam ilmu pengetahuan sendiri, terhadap sengketa antara modal dan kerja.  Durkheim menamakan situasi ini situasi pembagian kerja anomis.

Sebaliknya, menurut pendapat Comte bahwa disintegrasi itu timbul pada saat pembagian kerja melewati suatu batas kritis. Disintegrasi ini hanya dapat dibendung oleh negara yang harus mengadakan tindakan yang mengatur. Durkheim berpendapat bahwa pandangan ini tidak benar. Aturan-aturan hanya timbul apabila terdapat interaksi yang cukup banyak dan cukup lama, kalau interaksi seperti itu tidak ada, maka terjadi anomi, yaitu sama sekali tidak ada aturan, atau aturan-aturan yang ada tidak sesuai dengan taraf perkembangan pembagian kerja. Karena itu, anomi tidak boleh diberantas dengan mengurangi pembagian kerja, tetapi dengan menghilangkan sebab-sebab anomi itu.

Integrasi Masyarakat menurut Durkheim

Didalam karya besarnya yang pertama Durkheim membahas masalah pembagian kerja. Durkheim merumuskan masalahnya : Apakah peningkatan pembagian kerja harus dipandang sebagai kewajiban moral yang tidak boleh dihindari oleh manusia? Ia mencoba merumuskan jawabannya atas dasar suatu analisa obyektif terhadap fakta-fakta. Menurut penglihatannya, fungsi pembagian kerja itu ialah peningkatan solidaritas. Antara kawan-kawan dan didalam keluarga ketidaksamaan menciptakan suatu ikatan : justru karena individu mempunyai kualitas yang berbeda maka terdapatlah ketertiban, keselarasan, dan solidaritas. Karena individu melakukan berbagai kegiatan, maka mereka menjadi tergantung satu sama lain dan karenanya terikat satu sama lain. Karena ketertiban, keselarasan, dan solidaritas merupakan keperluan umum atau syarat-syarat hidup yang merupakan keharusan bagi organisme sosial, maka hipotesa bahwa pembagian kerja adalah syarat hidup bagi masyarakat modern dapat dibenarkan.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 Sosiologindo. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top