MAX WEBER (1864-1920)
Maximillian
Weber lahir di Erfrut, Jerman pada tanggal 21 April 1864, dari keluarga
kelas menengah. Namun pada usianya yang kelima tahun, Weber dan keluarganya
pindah dan menetap di Berlin, Jerman. Weber tinggal bersama ayah dan
ibunya. Ayahnya adalah seorang hakim di Erfurt. Ketika mereka pindah ke Berlin,
ayanya menjadi seorang penasehat di pemerintahan kota dankemudian menjadi anggota
Prussian House of Deputies dan German Reichstag. Ayah Weber nampaknya senang
dengan kompromi politik dan kesenangan borjuis.
Sedangkan ibunya adalah seorang Calvinisme.
Ibu Weber bernama Helene Eallenstein Weber. Dia sangat saleh, sangat berbeda
dengan ayah Weber. Ayah Weber adalah sosok ayah yang sangat mudah menggunakan
tangan besi dalam rumah tangganya. Dia sering sekali melakukan kekerasan kepada
istrinya. Saat
kecil Weber merupakan anak pemalu, sering sakit-sakitan namun sangat jenius.
Saat remaja dia mulai membaca dan menulis sesuatu secara ilmiah. Pada usia
delapan belas tahun, dia mempelajari hukum di Universitas Heidelberg. Namun
studinya harus terganggu dengan wajib militer yang dia lakukan selama setahun.
Dalam wajib militer, Weber menjalin hubungan yang erat dengan paman dan bibinya
di Strasbourg. Kehidupan paman dan bibi Weber sangatlah berbeda dengan
kehidupan keluarganya. Bibi Weber yang merupakan adik dari ibu Weber adalah
seorang Calvinisme seperti ibu Weber. Namun, suaminya sangat meghargai itu,
berbeda dengan ayah Weber yang sering melakuka kekerasan. Dari sinilah Weber
lebih banyak meniru ibunya daripada ayahnya karena Weber menganggap sikap
ayahnya amoral. Setelah wajib militer, dia meneruskan studinya di Berlin
dan tinggal bersama kedua orang tuanya. Pada tahun 1889, Weber menyelesaikan
tesis doktoralnya. Setelah itu dia mengajar di Universitas Berlin meskipun dia
masih bekerja sebagai pengacara. Weber menikahi Marianne Schnitzer pada tahun
1893. Weber
pernah menjadi dosen di Universitas Freiburg dan pindah ke Universitas
Haidelberg sebagai professor ekonomi. Kehidupan keluarganya masih tetap sama
hingga pada suatu ketika Weber mengusir ayahnya karena menurutnya sang ayah
terlampau keras dengan ibunya. Namun kurang lebih satu bulan yang kemudia
ayahnya meninggal. Hal ini membuat Weber tertekan dan merasa bersalah hingga
dia mengalami gangguan pada kesehatan fisik dan psikologisnya. Tahun 1899 dia
harus dirawat di rumah sakit dan baru pada tahun 1918 Weber dinyatakan sembuh
dan dapat mengajar di Universitas Wina. Max Weber meninggal dinia pada tanggal
14 Juni 1920 karena menderita penemoni.
Etika
Protestan dan Spirit Kapitalisme
Essay
Weber yang sangat menggemparkan itu berjudul: The Protestan Ethic and
the Spirit of Capitalism yang sejak dituliskannya, hingga saat ini
telah menjadi bahan pergujingan yang controversial bagi kehidupan ilmiah yang
tak ada habisnya. Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang
menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barang
kali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antara tingkah laku
agama dan ekonomi itu, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas
memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini
sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan
kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan kegoncangan-kegoncangan
hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat.
Marx
dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan
perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan sedemikian itu
telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah
kecil orang-orang yang tidak memiliki modal atau alat-alat produksi yang
disebut kaum proletar dan kaum borjuis yang secara terus menerus berusaha untuk
memperoleh untung yang lebih besar yang tidak digunakan untuk konsumsi,
melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.
Pada
hakekatnya Weber tidak berselisih pendapat dengan Marx dalam hal ini, terutama
tentang ciri-ciri yang menandai pertumbuhan kapitalisme modern itu.
Adapun
karakteristik dan spirit kapitalisme modern menurut Weber adalah sebagai
berikut :
1.
Adanya
usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional di atas
landasan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan berkembangnya pemilikan atau
kekayaan pribadi.
2.
Berkembang produksi
untuk pasar.
3.
Berkembangnya
produksi untuk massa dan melalui massa.
4.
Berkembangnya
produksi uang
5.
Adanya
anthusiasme, etos dan efisiensi yang maksimal yang menuntut pengabdian manusia kepada panggilan kerja.
Kerja
adalah suatu tujuan pribadi dari setiap orang. Kerja tidak dipandang sebagai
kegiatan yang incidental melainkan sebagai sesuatu yang
melekat di dalam eksistensi hidup manusia (hidup itu adalah kerja). Masyarakat
kapitalis memandang manusia terutama sebagai pekerja dan tidak peduli apapun
yang menjadi pekerjaan mereka. Dan inilah yang disebut dengan vocational
ethics yang merupakan tingkah laku yang menonjol dari spirit
kapitalisme modern. Mereka yang miskin, vocational ethics yang
dimiliki akan mengalami keruntuhan, dan mereka yang memiliki vocational
ethics itu dengan baik akan berhasil meningkatkan prestasi hidupnya.
Selain
berbagai faktor di atas itu, perlu pula ditambahkan sejumlah elemen-elemen
daripada ekonomi kapitalis yaitu :
1.
Di
suatu pihak berkembangnya rasionalisme, utilitarianisme, rangsangan untuk
berinisiatif dan menemukan hal-hal baru melalui berbagai sarana yang mungkin,
dan di lain pihak.
2.
Terjadinya
reduksi (penyederhanaan) besar-besaran daripada tradisionalisme di dalam hal
yang dipandang tidak efisien, kuno dan bersifat tahayul, irrasional, dan segala
sesuatu yang tidak sempurna dipandang dari sudut metode-metode rasional.
Semua
tingkah laku itu dianggap sebagai sesuatu yang ideal dari karakteristik
kapatalisme modern. Dan sesungguhnya tingkah laku ideal yang didambakan sedemikian
ini sangat jauh berbeda dengan bentuk-bentuk kapitalisme kuno dan bahkan
kapitalisme dalam abad pertengahan. Spirit dan tingkah laku yang dicitrakan
sedemikian itu adalah merupakan gejala khusus dari masyarakata barat yang
modern. Dan semua elemen-elemen di atas itu kemudian menyatakan diri di dalam
masyarakat kapitalis dalam berbagai bentuk dan kondisi tertentu seperti :
1.
Rational
capital accounting and business management (perhitungan modal dan pengelolaan usaha secara
rasional).
2.
Appropriation
of all means of production (pengerahan
segala sarana produksi secara tepat guna).
3.
Rational
technique of production (penggunakan
teknik-teknik produksi rasional).
4.
Rational
law (hukum rasional).
5.
Free
labor (adanya tenaga kerja
yang bebas).
6.
Commercialization
and marketing of the products of labor (komersialisasi dan pemasaran
hasil-hasil produksi dan tenaga kerja).
Selanjutnya
Weber mempersoalkan bahwa kondisi-kondisi sedemikian ini hanya dapat
dimungkinkan terwujud apabila manusia terlebih dahulu memiliki sejumlah
karakteristik psikologis tertentu. Karakterisktik psikologis ini terlebih
dahulu haruslah dianut oleh sejumlah orang yang memiliki lebih dahulu etika
kapitalisme sebelum dia menjadi seorang kapitalis. Dan karakteristik psikologis
tertentu itu menurut Weber tercermin di dalam berbagai citra sosial yang
merupakan bentuk-bentuk ideal yang tercermin di dalam berbagai ungkapan atau
semboyan-semboyan seperti :
“Honesty is the best policy”; “Carefull
accounting is necessary for any business, And orderly conduct and honesty,
Diligence, Efficiency, Truth, Sincering and integrity are necessary for success
in any field and in the field of business too.”
Sekarang,
kata Max Weber, persoalannya adalah kekuatan macam apakah sesungguhnya yang
telah menyebabkan terjadinya transformasi umat manusia dan tingkah laku
sedemikian itu? Dan Weber mengajukan jawab :
“Bahwa Kapitalisme (barat) modern adalah
bersumber di dalam agama Protestan, yang hal itu merupakan Wirtschafsethik.
Spirit kapitalisme modern adalah Protestanisme, yaitu yang merupakan
aturan-aturan agama Protestan tentang watak dan perilaku (Rules of
conduct) penganut-penganutnya di dalam keidupan sehari-hari”.
Sebelum
kapitalisme modern lahir, etika Protestan telah lahir terlebih dahulu. Spirit
kapitalisme lahir terlebih dahulu sebelum kapitalisme itu sendiri. Dan spirit
itu seolah nyata di dalam kehidupan agama Protestan sehari-hari. Dan inilah
yang merupakan catatan Weber sebagai contoh bagaimana suatu organisasi
ekonomi didahului dan diprasyaratkan oleh faktor-faktor ideologi (dalam hal ini
ideologi agama Protestan). Bagaimana Weber membuktikan pendapatnya ini?
Weber
mengajukan pembuktian secara analitis dengan melakukan penelitian yang mendalam
terhadap ajaran-ajaran Protestan sebagaimana diajarkan oleh Luther dan terutama
ajaran Calvin dan juga berbagai ajaran Protestan lainnya. Dari hasil
penelitiannya yang mendalam tentang ajaran-ajaran Protestan ini, Weber
menunjukkan bahwa spirit protestan di dalam etika praktis sehari-hari, identik
dengan spirit kapitalisme modern. Menurut Weber, etika Protestan mewujudkan
diri sebagai suatu pengertian tertentu tentang Tuhan, di mana Tuhan dianggap
sebagai Yang Maha Esa, Maha Pencipta dan Penguasa Dunia.
Akan
tetapi sesungguhnya Tuhan itu tidak dapat ditanggapi dengan pemikiran manusia.
Tuhan menentukan akhir dari pada kehidupan semua manusia, atau dengan kata
lain, sebelum manusia lahir, Tuhan telah menetapkan kepada manusia itu apakah
dia akan dibebaskan atau akan dikutuk. Kalau demikian halnya, maka tidak ada
gunanya buat manusia untuk membujuk Tuhan agar membuat putusan lain sesudah
mati. Tuhan menciptakan alam dan manusia adalah untuk kemegahan Tuhan sendiri.
Manusia dengan demikian berkewajiban untuk bekerja bagi kemegahan Tuhan dan
menciptakan kerajaan Tuhan di dunia. Pembebasan manusia hanya dapat diperoleh
melalui anugerah Tuhan.
Akibat
konsepsi mengenai Tuhan secara demikian ini, maka penganut agama Protestan
menganggap bahwa kesenangan merupakan sesuatu yg tidak baik, sebaliknya untuk
menagungkan Tuhan maka harus berhemat. Semangat Protestan sedemikian ini
menurut Weber identik dengan spirit kapitalisme modern yang pada pokoknya
menganggap bahwa bekerja keras merupakan calling atau
panggilan suci bagi kehidupan manusia. Berlaku hemat dengan cara menggunakan
hasil kerjanya tidak untuk bersenang-senang atau berfoya-foya maupun untuk
upacara-upacara keagamaan. Dunia harus dipalajari secara ilmiah, rasional, hal
ini terjadi karena Tuhan sesungguhnya tidak dapat dibujuk untuk mengubah nasib
manusia. Spirit Protestan juga menganut paham bahwa membuat atau mencari uang
dengan jujur merupakan aktifitas yang tidak berdosa.
Itulah
pembuktian pertama secara analistis yang dianjurkan Weber tentang bagaimana
hubungan antara spirit kapitalisme modern identik dengan etika Protestan.
Tentang bagaimana faktor agama mempunyai pengaruh terhadap aktifitas ekonomi.
Pembuktian
kedua olehnya diajukan angka-angka statistik. Jika benar bahwa ajaran Protestan
mengakibatkan perkembangan kapitalisme modern, maka harus dapat dibuktikan dua hal
kata Weber, yaitu:
1.
Di
masyarakat-masyarakat yang mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang sama untuk
perkembangan kapitalisme modern, haruslah dijumpai agama-agama tertentu yang
memiliki etika Protestan atau yang sama dengan etika Protestan.
2.
Di
masyarakat-masyarakat di mana kapitalisme modern tidak timbul harus tidak
dijumpai ajaran-ajaran agama Protestan atau yang sama dengan etika Protestan.
Maka
ditunjukkan oleh Weber fakta-fakta bahwa sejak jaman reformasi, negara-negara
yang menganut agama Protestan sebagai mayoritas adalah negara-negara yang lebih
maju ekonominya. (Dia menunjuk negara-negara seperti Holland atau Belanda,
Inggris, Amerika dan lain-lain).
Sementara
itu di negara-negara yang mayoritas menganut ajaran Katolik atau ajaran-ajaran
non Protestan lainnya, pada umumnya ketinggalan di dalam perkembangan
ekonominya. Dengan menerangkan hal ini, maka jelaslah bagaimana etika
ekonomi Protestan telah mendidik dan melatih para penganutnya menjurus
kepada ekonomi kapitalis. Spirit Protestan telah menanamkan pola kebiasaan dan
bentuk-bentuk aktifitas yang perlu untuk membangun dan mengatur
perusahaan-perusahaan kapitalisme modern secara sukses.
Pembuktian
ketiga dari hipotesa yang diajukan Weber juga melalui angka-angka statistik
yang dilakukan di Jerman. Di negeri katanya, Protestan secara ekonomi lebih
baik atau lebih kaya dibanding penduduk yang menganut agama Katolik ataupun
agama-agama non Protestan lainnya. Anak-anak dari keluarga-keluarga Protestan
justru menunjukkan persentase keberhasilan yang lebih besar di dalam
sekolah-sekolah dagang dibandingkan dengan anak-anak dari penganut agama non
Protestan.
Tetapi
barang kali kenyataan ini juga dapat dibantah, demikian kata Weber selanjutnya.
Artinya bahwa mungkin saja dapat diajukan hipotesa yang menentang hipotesa di
atas itu. Negara-negara Inggris, Holland dan negara-negara lain yang secara
ekonomi lebih baik kehidupannya bukan karena mereka menganut ajaran Protestan,
tetapi mereka menganut agama Protestan karena secara ekonomi kehidupan mereka
lebih baik. Atau mengambil contoh di Jerman, barangkali juga keluarga-keluarga
kaya itu menjadi kaya bukan karena mereka menganut ajaran Protestan,
tetapi mungkin juga bahwa ajaran Protestan yang mereka anut karena alasan
kekayaan mereka atau kerena mereka sudah kaya terlebih dahulu.
Tetapi
hipotesa penentang sedemikian itu adalah salah kata Weber. Buktinya di
negara-negara yang penganut ajaran Protestannya minoritas, justru mereka
(penganut Protestan) amat terkenal karena kesuksesannya dalam bidang industri,
karena ketrampilannya dalam usaha-usaha dagang, dan peranan mereka yang sangat
menonjol di dalam setiap aktifitas ekonomi.
Demikianlah,
Weber secara bertahap menunjukkan bahwa setiap sekte di dalam Protestan itu
nyatanya memiliki kecenderungan yang sama dalam menunjang kehadiran Kapitalisme
modern, sehingga dengan demikian dia memperkuat pendapatnya dengan menstudi
semua penganut Protestan di negara-negara Jerman, Inggris, Belanda, Amerika,
dan lain-lain, bagaimana ajaran agama itu mendorong kehadiran Kapitalisme.
Dengan
cara yang sama Weber juga menganalisa Wirtschaftsethik atau
etika ekonomi dari suatu agama-agama lain seperti Confusianism, Taoism,
Hinduism, Budhaism, dan bahkan agama Judaism. Dia mempelajari etika ekonomi dan
etika hidup sehari-hari dari semua ajaran dan spirit dari masing-masing agama
itu sangat berbeda dengan spirit kapitalisme modern, dan ajaran serta spirit
sedemikian itu bertanggung jawab terhadap keterbelakangan kapitalisme dari
negara-negara yang menganut agama-agama itu. Kesimpulan ini dikecualikannya
untuk sebagian penganut Judaism, sebab dalam beberapa hal, agama ini memiliki
banyak persamaan dengan agama Kristen, terutama dalam spiritnya.
Teori Tindakan Sosial
Mengenai
teori perilaku sosial Max Weber atau sering kita dengar dengan tindakan sosial,
sebelumnya kita melihat apa yang disebut dengan sosiologi menurut Max Weber.
Max Weber mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu tentang institusi-institusi
sosial, sosiologi Weber adalah ilmu tentang perilaku sosial. Menurutnya terjadi
suatu pergeseran tekanan ke arah keyakinan, motivasi, dan tujuan pada diri
anggota masyarakat, yang semuanya memberi isi dan bentuk kepada kelakuannya.
Kata
perikelakuan dipakai oleh Weber untuk perbuatan-perbuatan yang bagi si pelaku
mempunyai arti subyektif. Pelaku hendak mencapai suatu tujuan atau ia didorong
oleh motivasi. Perikelakuan menjadi sosial menurut Weber terjadi hanya kalau
dan sejauh mana arti maksud subyektif dari tingkahlaku membuat individu
memikirkan dan menunjukan suatu keseragaman yang kurang lebih tetap. Pelaku
individual mengarahkan kelakuannya kepada penetapan atau harapan-harapan
tertentu yang berupa kebiasaan umum atau dituntut dengan tegas atau bahkan
dibekukan dengan undang-undang.
Menurut
Weber, tidak semua tindakan yang dilakukan merupakan tindakan sosial. Tindakan
sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang
lain dan berorientasi pada orang lain. Contohnya adalah seseorang yang
bernyanyi-nyanyi kecil untuk menghibur dirinya sendiri bukan merupakan tindakan
sosial. Namun jika tujuannya untuk menarik perhatian orang lain, maka itu
merukan tindakan sosial.
Contoh
lain adalah orang yang dimotivir untuk membalas atas suatu penghinaan di
masa lampau, mengorientasikan tindakannya kepada orang lain. Itu kelakuan
sosial. Menurut Weber Kelakuan sosial juga berakar dalam kesadaran individual
dan bertolak dari situ. Tingkah laku individu merupakan kesatuan analisis
sosiologis, bukan keluarga, negara, partai, dll.
Weber
berpendapat bahwa studi kehidupan sosial yang mempelajari pranata dan struktur
sosial dari luar saja, seakan-akan tidak ada inside-story, dan
karena itu mengesampingkan pengarahan diri oleh individu, tidak menjangkau
unsur utama dan pokok dari kehidupan sosial itu. Sosiologi sendiri
haruslah berusaha menjelaskan dan menerangkan kelakuan manusia dengan menyelami
dan memahami seluruh arti sistem subyektif.
Vershtehen
Max
Weber menawarkan model analisis sistem simbol dengan pendekatan verstehen (pemahaman)
yang memungkinkan orang untuk bisa menghayati apa yang diyakini oleh pihak lain
tanpa prasangka tertentu. Dalam tradis verstehen, jika obyeknya
adalah sistem budaya, maka bisa dipihal antara tradisi agung (great trdition)
dan tradisi rendah (litlle tradition).
Aspek
pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah
tekanannya pada verstehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh
pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial.
Bagi weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Introspeksi
bisa memberikan seorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti
subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakan
orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, kemampuan untuk
menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang prilakunya mau
dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif
itu. Proses itu menunjuk pada konsep “mengambil peran” yang terdapat dalam
interaksionisme simbol.
Tindakan
subyek harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subyektif yang terkandung
didalamnya. Untuk itu, orang perlu mengembangkan suatu metode untuk mengetahui
arti subyektif ini secara obyektif dan analitis.
Konsep
rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti
subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan
sosial yang berbeda. Pendekatan “obyektif” hanya berhubungan dengan
gejala-gejala yang dapat diamati (benda fisik atau perilaku nyata), sedangkan
pendekatan “subyektif” berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang
sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti perasaan individu, pikiran dan
motif-motifnya.
Verstehen
adalah suatu metode pendekatan yag berusaha untuk mengerti makna yang mendasari
dan mengitari peristiwa sosial dan histori. Pendekatan ini bertolak dari
gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuwat
oleh aktor yang terlibat di dalamnya. Yang menjadi inti dari sosiologi bukanlah
bentuk-bentuk substansial dari kehidupan masyarakat maupun nilai yang obyektif
dari tindakan, melainkan semata-mata arti yang nyata dari tindakan perseorangan
yang timbul dari alasan subyektif itu yang di sebut dengan Verstehende
sociologie.
Pemikiran
Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan
sejarawan Jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal
dengan hermeneutika. Hermeneutika adalah pendekatan khusus
terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan.
Tujuannya adalah memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber
dan lainnya berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman
kehidupan sosial: memahami aktor, interaksi dan seluruh sejarah manusia. Satu
kesalahpahaman yang sering terjadi menyangkut konsepverstehen adalah
bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan intuisi, irasional dan subyektif.
Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya
melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati atau empati.
Baginya, verstehen melibatkan
penelitian sitematis dan ketat, dan bukannya hanya sekedar merasakan teks atau
fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber, verstehen adalah
prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan verstehen,
pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi penafsiran level
individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga menafsirkan
bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai
teknik yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut,
W.G. Runciman (1972) dan Murray Weax (1976) melibatkan verstehen sebagai
alat untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
Max
Weber juga memasukkan problem pemahaman dalam pendekatan sosiologisnya, yang
sebagaimana cenderung ia tekankan adalah salah satu tipe sosiologis dari sekian
kemungkinan lain. Karena itulah ia menyebutkan perspektifnya sebagai sosiologi
interpretatif atau pemahaman. Menjadi ciri khas rasional dan positivisnya bahwa
ia mentransformasikan konsep tentang pemahaman. Meski begitu, baginya pemahaman
tetap merupakan sebuah pendekatan unik terhadap moral dan ilmu-ilmu budaya,
yang lebih berurusan dengan manusia ketimbang dengan binatang lainnya atau
kehidupan non hayati. Manusia bisa memahami atau berusaha memahami
niatnyasendiri melalui instropeksi, dan ia bisa menginterpretasikan perbuatan
orang lain sehubungan dengan niatan yang mereka akui atau diduga mereka punyai.
Refleksi
metodologis Weber jelas berhutang pada filsafat pencerahan. Titik tolak dan unik,
analisis paling utamanya adalah sosok individual. Sosiologi interpretatif
memandang individu dan tindakannya sebagai satuan dasar, sebagai “atomnya”
sekiranya perbandingan yang diperdebatkan bisa diterima. Dalam pendekatan ini
individu juga dipandang sebagia batas teratas dan pembawa tingkah laku yang
bermakna. Weber memilah berbagai “tipe” aneka tindakan bermotivasi.
Tindakan-tindakan yang tercakup dalam sikap kelaziman rasional ia nilai secara
khas sebagi tipe yang paling bisa dipahami dan perbuatan “manusia ekonomis”
adalah contoh utamanya.
Tindakan-tindakan
yang kurang rasional ooleh Weber digolongkan, kaitannya dengan pencarian
tujuan-tujuan absolute, sebagai berasal dari sentiment berpengaruh dalam (affectual
sentiments) atau sebagai “tradisional”. Karena tujuan absolute
dipandang oleh sosiolog sebagai data yang “terberi”(given) maka
sebuah tindakan bisa menjadi rasional dengan mengacu pada sarana yang
digunakan, tetapi irasional jika dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Tindakan
afektual, yang murni berasal dari sentiment, adalah tipe perbuatan yang kurang
rasional. Dan akhirnya, mendekati level “instinctual” adalah perbuatan
“tradisional” : tidak reflektif dan bersifat kebiasaan, tipe ini dikeramatkan
karena “selalu dilakukan” dan itu dipandang tepat. Tipe-tipe tindakan ini
dibentuk secara operasional kaitannya dengan sebuah skala rasionalitas.
Singkatnya,
vershtehen merupakan metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai
arti-arti subyektif tindakan sosial. Vershtehen akan memunculkan rasa empati
yaitu kemampuan untuk menempaktak diri dalam kerangka berfikir orang lain yang
perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat
menurut prespektif itu. Konsep ini sama halnya dengan konsep mengambil peran
orang lain.
Tipe-Tipe Tindakan Sosial
Tindakan
sosial Max Weber dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
1.
Tindakan
Rasional Instrumental
Tindakan rasional
instrumental meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan
dengan tujuan tidakan dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu
selalu memiliki tujuan yang beragam dari setiap hal yang diinginkan, maka
individu dituntut untuk memilih. Dan untuk memenuhi tujuan itu, individu harus
memiliki alat yang mendukung. Akhirnya suatu pilihan dibuat atas alat yang
mencerminkan suatu pertimbangan individu atas efisiensi dan efektifitasnya.
Setelah dilakukan, individu akan dapat menilai secara obyektif sesuatu yang
berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai.
Jadi bisa disimpulkan bahwa
rindakan rasional instrumental merupakan tindakan yang dikerjakan dengan
memperhitungkan keadaan yang akan dihadapi sebagai cara dan tujuannya.
Contohnya adalah seorang tukang becak yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan (tujuan) makan caranya adalah bekerja
yaitu menjadi tukang becak.
2.
Tindakan
Rasional yang Berorientasi Nilai
Tindakan rasional yang
berorientasi nilai yaitu tindakan yang lebih memperhatikan manfaat atau nilai
daripada tujuan yang hendak dicapai. Tindakan religious merupakan bentuk dasar
dari rasionalitas yang berorientasi nilai. Contohnya dalam melaksanakan ibadah.
Jika kita melakukan ibadah, tentunya kita memikirkan bagaimana cara terbaik
yang harus dilakukan untuk bisa mendapat keridhoan-Nya. Sikap yang kita lakukan
antara lain bersikap khusyuk ketika sedang berdoa dan bersembahyang, bersikap
ikhlas sewaktu membantu orang yang membutuhkan pertolongan, dan sebagainya.
Pada khasus seperti itu kita tidak mengetahui apakah Tuhan telah memberikan
keridhoan dan pahala-Nya atau tidak, tetapi yang paling penting kita telah
melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya.
Tindakan rasional yang
berorientasi nilai dapat diartikan juga sebagai tindakan yang berkaitan dengan
nilai-nilai dasar dalam masyarakat, nilai disini seperti keindahan,
kemerdekaan, persaudaraan, dll. Misalnya ketika kita melihat warga suatu negara
yang berasal dari berbagai kalangan berbaur bersama tanpa membeda-bedakan.
3.
Tindakan
Tradisional
Tindakan tradisional bisa
dikatakan sebagai tindakan yang tidak memperhitungkan pertimbangan
rasional. Tindakan tradisional berkaitan dengan kepatuhan terhadap
adat-istiadat yang sifatnya kekal dan mengikat pola perilaku masyarakatnya.
Jika tidak dipatuhi, maka akan mendapatkan sanksi. Contohnya adalah adat
pernikahan. Contoh lainnya adalah seorang anak yang memilih kuliah di UI tanpa
memikirkan manfaat jurusan yang dia pilih dan tidak mempertimbangkan
kemampuannya. Dalam hal ini alasan agar prestis dalam masyarakat meningkat,
namun tidak memperhitungkan kecerdasan di jurusan tersebut.
4.
Tindakan
Afeksi
Tipe tindakan ini ditandai
dengan dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan
yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta,
kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan
perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif.
Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya perimbangan logis,
ideology, atau criteria rasionalitas lainnya. Contohnya adalah kasih saying
orang tua kepada anaknya yang ditunjukkan melalui perhatian dan kasih sayang.
Contoh lainnya adalah tindakan menyanyi dan menari ketika merasa senang
mendapatkan hadiah yang diimpikan.
Birokrasi
Selain
mengenai etika Protestan dan semangat Kapitalis, teori yang dikenal dari
seorang Max Weber adalah mengenai teori Birokrasi. Teori Birokrasi Max Weber
merupakan salah satu teori besar dalam perspektif klasik. Max Weber sangat
popular karena buah pikirannya yaitu karakteristik organisasi weberian. Di
dalam pemikiran tersebut terdapat konsep mengenai birokrasi yang mendetail. Max
Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber
menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya
melekat pada birokrasi.
Sebelum
masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi
(asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”. Kata
“bureau” berasal dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya
adalah meja atau kadang diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi
adalah aturan yang dikendalikan lewat meja atau kantor. Di masa
kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah maupun swasta. Pada
pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan
secara kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen
atau lembaga kepresidenan. Gejala birokrasi yang dikaji Weber
sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di
waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern
di Prussia. Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional.
Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan
Dinasti. Akibatnya
banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara
maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu. Ketika membicarakan mengenai
birokrasi maka tidak akan lepas dari apa yang disebut organisasi, karena di
dalam birokrasi merupakan kumpulan dari organisasi. Weber mengemukakan
pokok-pokok pikirannya tentang birokrasi dalam organisasi modern, sebagai suatu
tipe ideal (ideal typus) sebuah struktur sebagai berikut:
1.
Pemerintahan
yang bersih atau memiliki aturan kegiatannya atau aktivitasnya dilakukan secara
khusus atau spesialisasi staf administrasi (tidak sama seperti bentuk
tradisional dimana penyerahan tugas-tugas dilakukan oleh pemimpin dan dapat
dirubah kapan saja).
2.
Organisasi
mengikuti prinsip hirarki, sub-ordinat taat terhadap tata tertib atau
kekuasaan, tetapi memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat (berbeda dengan
otoritas dalam struktur tradisional).
3.
Maksud
(intensial), keputusan yang mengatur aturan yang abstrak, tindakan, dan
keputusan selalu stabil, mendalam, dan dapat dipahami. Ketetapannya
terarsipakan secara permanen (di dalam bentuk tradisional hukum bersifat kurang
tegas atau tidak direkam secara tertulis).
4.
Pengertian
produksi atau administrasi adalah sebagai aktifitas perkantoran. Kepemilikan
pribadi terpisah dari kepemilikan kantor (dinas).
5.
Pegawai
diseleksi berdasarkan tehnik kualifikasi bukan dipilih begitu saja tanpa
spesialisasi yang jelas. Mereka diberi kompensasi berupa imbalan dan penalti
sesuai aturan.
6.
Jabatan
pada organisasi merupakan suatu karier yang permanen. Pegawai merupakan pekerja
full-time dan berpandangan ke depan kepada suatu kehidupan karier yang panjang.
Sesudah beberapa periode mereka mendapatkan kenaikan atau promosi jabatan dan
dilindungi dari pemecatan yang sewenang-wenang.
Dia menggambarkan tipe organisasi dengan maksud menjadikannya
sebagai landasan untuk berteori tentang bagaimana pekerjaan dapat dilakukan
dalam kelompok besar. Teorinya tersebut menjadi contoh desain struktural bagi
banyak organisasi besar sekarang ini. Apabila tipe – tipe ideal itu
diterapkan pada sebuah organisasi maka organisasi tersebut akn bercorak legal
rasional. Selanjutnya,
Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional.
Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai
berikut :
1.
para
anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan
tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
2.
terdapat
hirarki jabatan yang jelas;
3.
fungsi-fungsi
jabatan ditentukan secara tegas;
4.
para
pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5.
para
pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada
suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
6.
para
pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji
bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu
menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat
diberhentikan;
7.
pos
jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
8.
suatu
struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian
(merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
9.
pejabat
sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber
yang tersedia di pos terbut, dan;
10.
pejabat
tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.
Weber
juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin
(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem
birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan
birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada
aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga.
Rasional
artinya dapat dipahami,dipelajari dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat.
Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan
absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan
secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu
dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang
meliputi point-point berikut :
1.
Kolegialitas.
Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu
keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu
keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna
mencegah korupsi kekuasaan.
2.
Pemisahan
Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi
yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran
negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan
kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi
kekuasaan.
3.
Administrasi
Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar
orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara
yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara
Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah
tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU
ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.
4.
Demokrasi
Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung jawab
kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan
prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and
proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa
bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.
5.
Representasi.
Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para
pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan
dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak
langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Hingga
kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di
sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.
0 komentar:
Posting Komentar