EMILE DURKHEIM (1858-1917)
Emile Durkheim lahir di
Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri
belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia
menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat
akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap
pendidikan agama, tetapi juga pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia
juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk
menuntun kehidupan sosial. Ia menolak karir tradisional dalam filsafat dan
berupaya mendapatkan pendidikan ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman
moral masyarakat. Meski kita tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu
belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat
di sejumlah sekolah di Paris.
Hasratnya terhadap ilmu
makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi
ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993). Beberapa tahun
sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku diantaranya
adalah tentang pengalamannya selama di Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan buku
itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di Jurusan Filsafat Universitas
Bordeaux tahun 1887. DI sinilah Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu
sosial di Universitas Perancis. Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena
hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan meledak di Universitas Perancis
karena nama Auguste Comte muncul dalam disertasi seorang mahasiswa. Tanggung
jawab utama Durkheim adalah mengajarkan pedagogik di sekolah pengajar dan
kuliahnya yang terpenting adalah di bidang pendidikan moral. Tujuan
instruksional umum mata kuliahnya adalah akan diteruskan kepada anak-anak muda
dalam rangka membantu menanggulangi kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi
di tengah masyarakat Perancis.
Tahun-tahun berikutnya
ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan tesis
doktornya, The Devision of Labor in Society dalam bahasa
Perancis dan tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller, 1993).
Buku metodologi utamanya, The Rules of Sociological Method, terbit
tahun 1895 diikuti (tahun 1897) oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam
studi tentang bunuh diri. Sekitar tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di
Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas
di Perancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu
sangat terkenal lainnya, The Elementary Forins of Religious Life, diterbitkan
pada tahun 1912.
Kini Durkheim sering
dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam kajian
sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi dimasa hidupnya ia dianggap
berpikiran liberal dan ini ditunjukkan oleh peran publik aktif yang
dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang kapten tentara Yahudi yang
dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh banyak orang dirasakan
bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997).
Durkheim merasa sangat
terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang
melatarbelakangi pengadilannya. Namun Durkheim tidak mengaitkan pandangan
anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia
melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis
sebagai keseluruhan (Bimbaum dan Todd, 1995). Ia berkata :
Bila masyarakat mengalami
penderitaan maka perlu menemukan seorang yang dapat dianggap bertanggung jawab
atas penderitaannya itu. Orang yang dapat dijadikan sebagai sasaran pembalasan
dendam atas kemalangannya itu, dan orang yang menentang pendapat umum yang
diskriminatif, biasanya ditunjuk sebagai kambing hitam yang akan dijadikan
korban. Yang meyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah cara-cara masyarakat
menyambut hasil pengadilan Dreyfus 1894. keriangan meluap di jalan raya.
Rakyat merayakan kemenangan atas apa yang telah dianggap sebagai penyebab
penderitaan umum. Sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang harus disalahkan
atas kesulitan ekonomi dan kebejatan moral yang terjadi dalam masyarakat
mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi. Melalui fakta ini juga segala
sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa terhibur (Lukes,
1972:345).
Perhatian Durkheim terhadap
perkara Dreyfus berasal dari perhatiannya yang mendalam seumur hidupnya
terhadap moralitas modern. Menurut Durkheim, jawaban atas perkara Dreyfus dan
krisis moral seperti itu terletak di akhir kekacauan moral dalam masyarakat.
Karena perbaikan moral itu tak dapat dilakukan secara cepat dan mudah, Durkheim
menyarankan tindakan yang lebih khusus, seperti menindak tegas orang yang
mengorbankan rasa benci terhadap orang lain dan pemerintah harus berupaya
menunjukkan kepada publik bahwa menyebarkan rasa kebendaan itu adalah perbuatan
menyesatkan dan terkutuk. Ia mendesak rakyat agar “mempunyai keberanian untuk
secara lantang menyatakan apa yang mereka pikirkan dan bersatu untuk mencapai
kemenangan dalam perjuangan menentang kegilaan publik (Lukas, 1972:347).
Tetapi minat Durkheim
terhadap sosialisme juga dijadikan bukti bahwa ia menentang pemikiran yang
menganggapnya seorang konservatif, meski jenis pemikiran sosialismenya sangat
berbeda dengan pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkheim sebenarnya menamakan Marxisme
sebagai “seperangkat hipotesis yang dapat dibantah dan ketinggalan zaman”
(Lukes, 1972:323). Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang
diarahkan pada pembaharuan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tak
tertarik pada metode politik jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari
sosialisme. Ia tak melihat proletariat sebagai penyelamat masyarakat dan ia
sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan. Menurut Durkheim, sosialisme
mencerminkan sebuah sistem dimana didalamnya prinsip moral ditemukan melalui
studi sosiologi ilmiah di tempat prinsip moral itu diterapkan.
Durkheim berpengaruh besar
dalam pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tak hanya terbatas di bidang
sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang lain tersalur
melalui jurnal L’annee Sociologique yang didirikannya tahun
1898. Sebuah lingkaran intelektual muncul sekeliling jurnal itu dan Durkheim
berada dipusatnya. Melalui jurnal itu, Durkheim dan gagasannya mempengaruhi
berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi yang agak
ironis, mengingat serangannya terhadap bidang psikologi.
Durkheim meninggal pada 15
November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor. Tetapi,
karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah
kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Social Action (1973)
karya Talcott Parsons.
Pemikiran Emile Durkheim:
Fakta Sosial
Fakta sosial didefinisikan
oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar
individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam arti lain, yang
dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Pengertian fakta sosial meliputi
suatu spectrum gejala-gejala sosial. Yang terdapat bukan saja cara-cara bertindak
dan berfikir melainkan juga cara-cara berada, yaitu fakta-fakta sosial
morfologis, seperti bentuk permukiman, pola jalan-jalan, pembagian tanah, dan
sebagainya.
Fakta sosial menurut
Durkheim terdiri atas dua macam :
- Dalam bentuk
material. Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan
diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari
dunia nyata. Contohnya arsitektur dan norma hukum.
- Dalam bentuk non
material. Yaitu sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial jenis ini
merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul
dari dalam kesadaran manusia. Contohnya adalah egoisme, altruisme, dan
opini.
Karakteristik Fakta Sosial
Bagaimana gejala sosial itu
benar-benar dapat dibedakan dari gejala yang benar-benar individual
(psikologis) Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik fakta
sosial, yaitu :
- Gejala sosial
bersifat eksternal terhadap individu. Individu sejak awalnya
mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai suatu kenyataan eksternal.
Hampir setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang
baru, mungkin sebagai anggota baru dari suatu organisasi, dan pernah
merasakan adanya norma serta kebiasaan yang sedang diamati yang tidak
ditangkap/ dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan
dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
- Fakta itu
memaksa individu. Individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau
dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam
lingkungan sosialnya. Seperti Durkheim katakan : Tipe perilaku atau
berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa
individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti
bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang
negatif atau membatasi atau memaksa seseorang untuk berprilaku yang
bertentangan dengan kemauannya kalau sosialisasi itu berhasil, sehingga
perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan
dengan kemauan individu.
- Fakta itu
bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu
masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik
bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar
hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar
bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari
sifat kolektifnya ini.
Metodolgi Fakta Sosial
Durkheim dalam bukunya yang
berjudul “The Rules Of Sosiological Method” memberikan dasar-dasar metodologi
dalam sosiologi. Salah satu prinsip dasar yang ditekankan Durkheim adalah bahwa
fakta sosial harus dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya.
Ini adalah asas pokok yang mutlak. Kemungkinan lain yang besar untuk
menjelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu
(seperti kemauan, kesadaran, kepentingan pribadi individu, dan seterusnya)
seperti yang dikemukakan oleh ahli ekonomi klasik dan oleh Spencer.
Prinsip dasar yang kedua
(dan salah satu yang fundamental dalam fungsionalisme modern) adalah bahwa
asal-usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang
terpisah. Seperti ditulis Durkheim “Lalu apabila penjelasan mengenai suatu
gejala sosial diberikan kita harus memisahkan sebab yang mengakibatkannya
(efficient cause) yang menghasilkan gejala itu, dan fungsi yang dijalankannya.
Sesudah menentukan bahwa penjelasan tentang fakta sosial harus dicari di dalam
fakta sosial lainnya, Durkheim memberikan strategi tentang perbandingan
terkendali sebagai metoda yang paling cocok untuk mengembangkan penjelasan
kausal dalam sosiologi.
Metoda perbandingan
Durkheim lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metoda perbandingan terkendali
itu meliputi klasifikasi silang dari fakta sosial tertentu untuk menentukan
sejauh mana mereka berhubungan. Kalau korelasi antara dua himpunan fakta sosial
dapat ditunjukkan sebagai valid dalam pelbagai macam keadaan, hal ini memberi
satu petunjuk penting bahwa tipe fakta itu mungkin berhubungan secara kausal.
Artinya, variasi dalam nilai dari satu tipe variable mungkin merupakan sebab
dari variasi dalam nilai variable yang kedua.
Solidaritas Sosial Emile
Durkheim
Solidaritas menunjuk pada
satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama.
Sumber utama bagi analisa
Durkheim mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumber struktur
sosialnya diperoleh dari bukunya “The Devision Of Labour In Society”.
Tipe/jenis solidaritas yang dijelaskan Durkheim tersebut yaitu:
a.
Solidaritas mekanik.
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama, yang
menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada
pada warga masyarakat yang sama itu. Indikator yang paling jelas untuk
solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang
bersifat menekan itu (repressive). Ciri khas yang penting dari
solidaritas mekanik
adalah bahwa silidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas
yang
tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu
hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim.
b. Solidaritas
organik.
Solidaritas organik didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang
tinggi.
Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya
spesialisasi
dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan
bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa
kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang
bersifat
memulihkan dari pada yang bersifat represif. Dalam sistem organik,
kemarahan
kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil
kemungkinannya,
karena kesadaran koleftif itu tidak begitu kuat.
Selain itu, Durkheim juga
membandingkan sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas
mekanik dengan sifat masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik.
Perbandingan tersebut yaitu
:
Solidaritas
Mekanik
|
Solidaritas
Organik
|
- Pembagian
kerja rendah
- Kesadaran
kolektif rendah
- Hukum
represif dominan
- Individualitas
rendah
- Konsensus
terhadap pola-pola
normatif itu penting
- Peranan
komunitas dalam
menghukum orang yang
menyimpang
- Saling
ketergantungan itu
rendah
- Bersifat
primitif atau pedesaan
|
- Pembagian
kerja tinggi
- Kesadaran
kolektif lemah
- Hukum
restitutif dominan
- Individualitas
tinggi
- Konsensus
terhadap nilai
abstrak
dan umum itu penting
- Badan
kontrol sosial yang
menghukum orang yang
menyimpang
- Saling
ketergantungan yang
tinggi
- Bersifat
industrial-perkotaan
|
Kesadaran Kolektif
Kesadaran kolektif dapat
memberikan dasar moral yang tidak bersifat kontraktual yang mendasari hubungan
kontraktual. Dalam benak Durkheim, kesadaran kolektif yang mendasar ini
diabaikan oleh ahli teori seperti Spencer, yang melihat dasar fundamental dari
keteraturan sosial ini dalam hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual.
Kesadaran kolektif juga ada dalam bentuk yang lebih terbatas dalam pelbagai
kelompok khusus dalam masyarakat.
Durkheim juga menekankan
pentingnya kesadaran kolektif bersama yang mungkin ada dalam pelbagai kelompok
pekerjaan dan profesi. Keserupaan dalam kegiatan dan kepentingan pekerjaan
memperlihatkan suatu homogenitas internal yang memungkinkan berkembangnya
kebiasaan, kepercayaan, perasaan, dan prinsip moral dan kode etik bersama.
Akibatnya, anggota kelompok ini dibimbing dan dipaksa untuk berprilaku sama
seperti anggota satu suku bangsa primitif dengan pembagian kerja yang rendah
yang dibimbing dan dipaksa oleh kesadaran kolektif yang kuat. Durkheim merasa
bahwa solidaritas mekanik dalam pelbagai kelompok pekerjaan dan profesi harus
menjadi semakin penting begitu pembagian pekerjaan meluas, sebagi satu alat
perantara yang penting antara individu dan masyarakat secara keseluruhannya.
Teori Bunuh Diri (Suicide)
Selain konsepsinya tentang
solidaritas mekanis organis, Durkheim sangat terkenal dengan studinya tentang
kecenderungan orang untuk melakukan bunuh diri. Dalam bukunya yang kedua,
Suicide dikemukakan dengan jelas hubungan antara pengaruh integrasi social terhadap
kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Durkheim dengan tegas menolak
anggapan lama bahwa penyebab bunuh diri yang disebabkan oleh penyakit kejiwaan
sebagaimana teori-teori psikologi mengatakannya. Dia juga menolak anggapan
Gabriel Tarde bahwa bunuh diri akibat imitasi. Durkheim juga menolak teori yang
menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme. Durkheim menolak teori bunuh
diri karena kemiskinan, kenyataan orang-orang lapisan atas tingkat bunuh
dirinya lebih tinggi dibandingkan orang-orang dari lapisan atas. Dari hasil
penelitiannya Negara-negara miskin seperti Italia dan Spanyol justru memiliki
angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan dengan Negara-negara Eropa yang
lebih makmur seperti Perancis dan Jerman.
Menurut Durkheim
peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya kenyataan-kenyataan sosial tersendiri
yang karena itu dapat dijadikan sara penelitian dengan menghubungkannya dengan
derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Untuk membuktikan
teorinya, Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang
pokok dalam masyarakat, yaitu kesatuan agama, keluarga dan kesatuan politik.
Dalam kesatuan agama,
Durkheim membuat kesimpulan bahwa penganut-penganut agama Protestan mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan
penganut agama Katholik.Hal ini dikarenakan perbedaan derajat integrasi sosial
di antara penganut agama Katolik dengan Protestan. Penganut agama Protestan
memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat
ajaran-ajaran kitab suci. Pada agama Katolik tafsir agama lebih
ditentukan oleh para pater. Oleh karena itu kepercayaan bersama dari penganut
Protestan menjadi berkurang, hingga sekarang ini terdapat banyak gereja
(sekte-sekte). Integrasi yang rendah dari penganut agama protestan itulah yang
menyebabkan angka laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar
dibandingkan dengan penganut ajaran Katolik.
Dalam kesatuan keluarga,
Durkheim menunjukkan bahwa angka laju bunuh diri lebih banyak terdapat pada
orang-orang yang tidak kawin daripada mereka yang sudah kawin. Kesatuan
keluarga yang lebih besar umumnya terintegrasi mengikat anggota-anggotanya
untuk saling membantu.
Dalam kesatuan politik,
Durkeim menyebutkan bahwa dalam keadaan damai, golongan militer ummunya lebih
besar kecenderungan bunuh dirinya dibandingkan golongan masyarakat sipil.
Sedangkan dalam suasana perang, golongan militer justru lebih sedikit melakukan
bunuh diri bila dibandingkan golongan sipil karena mereka lebih terintegrasi
dengan baik (disiplin keras). Dalam situasi perang justru kecenderungan bunuh
diri lebih rendah dibandingkan situasi damai. Dalam masa revolusi/pergolakan
politik, anggota-anggota masyarakat justru lebih terintgrasi dalam menghadapi
musuh-musuhnya.
Durkheim mendefinisikan
bunuh diri sebagai setiap kematian yang merupakan akibat langsung atau tidak
langsung dari suatu perbuatan positif atau negatif oleh korban itu sendiri,
yang mengetahui bahwa perbuatan itu akan berakibat seperti itu. Definisi itu terlampau
luas, sebab didalamnya juga termasuk kematian para prajurit yang mengajukan
dirinya untuk melaksanakan tugas yang sukar, ataupun kematian seorang ayah yang
ingin menyelamatkan anaknya dari arus kencang yang bergolak. Hal ini akan
berakibat negatif dalam penalaran seperti yang akan ternyata kemudian.
Durkheim membagi bunuh diri
dalam beberapa jenis yaitu :
- Bunuh diri
egoistis (egoistic suicide) Yaitu yang merupakan akibat dari kurangnya
integrasi dalam kelompok. Misalnya, lebih banyak orang Protestan yang
bunuh diri dari pada orang Katolik. Sebab orang Katolik lebih terikat pada
komunitas keagamaan sedangkan dalam Protestan terdapat anjuran yang kuat
untuk bertanggung jawab secara individual. Kenyataan ini dinyatakan secara
tepat sekali di dalam rumusan bahwa seorang Protestan dipaksa untuk bebas.
- Bunuh diri anomi
(anomie suicide). Anomi adalah suatu situasi dimana terjadi suatu keadaan
tanpa aturan, dimana kesadaran kolektif tidak berfungsi. Jenis bunuh diri
ini terjadi dalam waktu krisis dan bukannya krisis ekonomi saja. Bunuh
diri ini juga terjadi bilamana sekonyong-konyong terjadi kemajuan yang
tidak terduga.
- Altruistic
Suicide, adalah bunuh diri karena merasa dirinya menjadi beban masyarakat.
Bunuh diri ini sifatnya tidak menuntut hak, sebaliknya memandang bunuh
diri itu sebagai suatu kewajiban yang dibebankan oleh masyarakat. Contoh :
Harakiri orang jepang.
- -Bunuh diri
Fatalistik. Merupakan lawan dari bunuh diri anomi, dan yang timbul dari
pengaturan kelakuan secara berlebih-lebihan, misalnya dalam rezim yang
sangat keras dan otoriter.
Anomi Durkheim
Anomi adalah suatu situasi
di mana terjadi suatu keadaan tanpa aturan, di mana ‘colective conciousness
(kesadaran kelompok)’ tidak berfungsi. Suatu situasi di mana aturan-aturan
dalam masyarakat tidak berlaku/berfungsi lagi sehingga orang merasa kehilangan
arah dalam kehidupan sosialnya. Contohnya krisis yang sering terjadi di dalam
perdagangan dan industri, terhadap spesialisasi yang jauh di dalam ilmu
pengetahuan yang merugikan kesatuan dalam ilmu pengetahuan sendiri, terhadap
sengketa antara modal dan kerja. Durkheim menamakan situasi ini situasi
pembagian kerja anomis.
Sebaliknya, menurut
pendapat Comte bahwa disintegrasi itu timbul pada saat pembagian kerja melewati
suatu batas kritis. Disintegrasi ini hanya dapat dibendung oleh negara yang
harus mengadakan tindakan yang mengatur. Durkheim berpendapat bahwa pandangan
ini tidak benar. Aturan-aturan hanya timbul apabila terdapat interaksi yang
cukup banyak dan cukup lama, kalau interaksi seperti itu tidak ada, maka
terjadi anomi, yaitu sama sekali tidak ada aturan, atau aturan-aturan yang ada
tidak sesuai dengan taraf perkembangan pembagian kerja. Karena itu, anomi tidak
boleh diberantas dengan mengurangi pembagian kerja, tetapi dengan menghilangkan
sebab-sebab anomi itu.
Integrasi Masyarakat
menurut Durkheim
Didalam karya besarnya yang
pertama Durkheim membahas masalah pembagian kerja. Durkheim merumuskan
masalahnya : Apakah peningkatan pembagian kerja harus dipandang sebagai
kewajiban moral yang tidak boleh dihindari oleh manusia? Ia mencoba merumuskan
jawabannya atas dasar suatu analisa obyektif terhadap fakta-fakta. Menurut
penglihatannya, fungsi pembagian kerja itu ialah peningkatan solidaritas.
Antara kawan-kawan dan didalam keluarga ketidaksamaan menciptakan suatu ikatan
: justru karena individu mempunyai kualitas yang berbeda maka terdapatlah
ketertiban, keselarasan, dan solidaritas. Karena individu melakukan berbagai
kegiatan, maka mereka menjadi tergantung satu sama lain dan karenanya terikat
satu sama lain. Karena ketertiban, keselarasan, dan solidaritas merupakan
keperluan umum atau syarat-syarat hidup yang merupakan keharusan bagi organisme
sosial, maka hipotesa bahwa pembagian kerja adalah syarat hidup bagi masyarakat
modern dapat dibenarkan.
0 komentar:
Posting Komentar